DINEWS.ID – Austria memulai masa berkabung nasional selama tiga hari pada Rabu (11/6/2025) untuk mengenang para korban dalam tragedi penembakan di sebuah sekolah menengah di Graz. Insiden tersebut menewaskan 10 orang, sementara 12 orang lainnya luka-luka.
Pelaku, seorang mantan siswa berusia 21 tahun, diketahui menembak mati sembilan orang di tempat sebelum mengakhiri hidupnya di toilet sekolah. Satu korban lainnya meninggal dunia di rumah sakit akibat luka serius. Salah satu korban merupakan pelajar asal Prancis berusia 17 tahun.
Polisi menyatakan pelaku bertindak seorang diri dan ditemukan membawa dua senjata api legal. Dalam penyelidikan, pihak berwenang menemukan surat perpisahan yang ditujukan kepada orang tuanya, namun tidak ditemukan keterangan mengenai motif serangan.
Saat menggeledah rumah pelaku, polisi juga menemukan bom rakitan yang tidak berfungsi. Temuan ini memunculkan dugaan bahwa serangan bisa saja lebih mematikan jika bom tersebut digunakan.
Pelaku diketahui sebagai warga Graz dan mantan murid sekolah Dreierschuetzengasse, meskipun tidak menyelesaikan pendidikannya di sana.
Warga Graz tampak terpukul oleh kejadian ini. Sejumlah orang mendatangi lokasi kejadian untuk meletakkan bunga, menyalakan lilin, dan menulis pesan duka. Seorang mahasiswi berusia 22 tahun, Mariam Fayz, mengaku khawatir dengan keselamatan adiknya saat mendengar kabar penembakan.
Kanselir Austria Christian Stocker menyebut peristiwa ini sebagai tragedi nasional. Seluruh negeri mengheningkan cipta pada pukul 10.00 pagi waktu setempat (15.00 WIB) sebagai bentuk solidaritas.
Insiden tersebut memicu kembali perdebatan soal akses senjata api di Austria. Beberapa laporan media lokal menyebutkan pelaku kemungkinan pernah mengalami perundungan saat sekolah.
Seorang warga asal Amerika Serikat yang enggan disebut namanya mengaku terkejut. “Di negara asal saya, kejadian seperti ini sering terjadi, tetapi tidak di sini,” ujarnya.
Ucapan belasungkawa datang dari berbagai pemimpin dunia, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Friedrich Merz, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.







